Pempek atau Empek-empek adalah makanan khas Palembang yang terbuat dari ikan dan sagu. Sebenarnya sulit untuk mengatakan bahwa pempek pusatnya adalah Palembang karena hampir di semua daerah di Sumatera Selatan memproduksinya.
Penyajian pempek ditemani oleh saus berwarna hitam kecoklat-coklatan yang disebut cuka atau cuko (bahasa Palembang). Cuko dibuat dari air yang dididihkan, kemudian ditambah gula merah, udang ebi dan cabe rawit tumbuk, bawang putih, dan garam. Bagi masyarakat asli Palembang, cuko
dari dulu dibuat pedas untuk menambah nafsu makan. Namun seiring
masuknya pendatang dari luar pulau Sumatera maka saat ini banyak
ditemukan cuko dengan rasa manis bagi yang tidak menyukai
pedas. Cuko dapat melindungi gigi dari karies (kerusakan lapisan email
dan dentin). Karena dalam satu liter larutan kuah pempek biasanya
terdapat 9-13 ppm fluor. satu pelengkap dalam menyantap makanan berasa
khas ini adalah irisan dadu timun segar dan mie kuning.
Jenis pempek yang terkenal adalah “pempek kapal selam”, yaitu telur
ayam yang dibungkus dengan adonan pempek dan digoreng dalam minyak
panas. Ada juga yang lain seperti pempek lenjer, pempek bulat (atau
terkenal dengan nama “ada’an”), pempek kulit ikan, pempek pistel
(isinya irisan pepaya muda rebus yang sudah dibumbui), pempek telur kecil, dan pempek keriting.
Pempek bisa ditemukan dengan gampang di seantero Kota Palembang. Ada
yang menjual di restoran, ada yang di gerobak, dan juga ada yang
dipikul. Juga setiap kantin sekolah pasti ada yang menjual pempek.
Tahun 1980-an, penjual pempek biasa memikul 1 keranjang pempek penuh
sambil berkeliling Kota Palembang jalan kaki menjajakan makanannya.
Menurut sejarahnya, pempek telah ada di Palembang sejak masuknya perantau Cina ke Palembang, yaitu di sekitar abad ke-16, saat Sultan Mahmud Badaruddin II berkuasa di kesultanan Palembang-Darussalam. Nama empek-empek atau pempek diyakini berasal dari sebutan “apek”, yaitu sebutan untuk lelaki tua keturunan Cina.
Berdasarkan cerita rakyat, sekitar tahun 1617 seorang apek berusia 65 tahun yang tinggal di daerah Perakitan (tepian Sungai Musi)
merasa prihatin menyaksikan tangkapan ikan yang berlimpah di Sungai
Musi yang belum seluruhnya dimanfaatkan dengan baik, hanya sebatas
digoreng dan dipindang. Ia kemudian mencoba alternatif pengolahan lain.
Ia mencampur daging ikan giling dengan tepung tapioka, sehingga
dihasilkan makanan baru. Makanan baru tersebut dijajakan oleh para apek
dengan bersepeda keliling kota. Oleh karena penjualnya dipanggil dengan
sebutan “pek … apek”, maka makanan tersebut akhirnya dikenal sebagai
empek-empek atau pempek
Tidak ada komentar:
Posting Komentar